MANUSIA DAN KESUSASTRAAN


PENGERTIAN KESUSASTRAAN

Secara etimologi (menurut asal-usul kata) kesusastraan berarti karangan yang indah. “sastra” (dari bahasa Sansekerta) artinya : tulisan, karangan. Akan tetapi sekarang pengertian “Kesusastraan” berkembang melebihi pengertian etimologi tersebut. Kata “Indah” amat luas maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian lahiriah tapi terutama adalah pengertian-pengertian yang bersifat rohaniah. Misalnya, bukankah pada wajah yang jelak orang masih bisa menemukan hal-hal yang indah.
Sebuah cipta sastra yang indah, bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia harus dilihat secara keseluruhan: temanya, amanatnya dan strukturnya. Pada nilai-nilai yang terkandung di dalam ciptasastra itu.
Ada beberapa nilai yang harus dimiliki oleh sebuah ciptasastra. Nilai-nilai itu adalah : Nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai yang bersifat konsepsionil. Ketiga nilai tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan sama sekali. Sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan tanpa moral. Tapi apakah moral itu? Ia bukan hanya semacam sopan santun ataupun etiket belaka. Ia adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai tentang kemanusiaan. Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang universal. Demikian juga tentang nilai-nilai yang bersifat konsepsionil itu. Dasarnya adalah juga nilai tentang keindahan yang sekaligus merangkum nilai tentang moral.Nilai- nilai estetika kita jumpai tidak hanya dalam bentuk (struktur) ciptasastra tetapi juga dalam isinya (tema dan amanat) nya. Nilai moral akan terlihat dalam sikap terhadap apa yang akan diungkapkan dalam sebuah ciptasastra cara bagaimana pengungkapannya itu. Nilai konsepsi akan terlihat dalam pandangan pengarang secara keseluruhan terhadap masalah yang diungkapkan di dalam ciptasastra yang diciptakan.
Sebuah ciptasastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat (realitas-objektif). Akan tetapi ciptasastra bukanlah hanya pengungkapan realitas objektif itu saja. Di dalamnya diungkapkan pula nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dari sekedar realitas objektif. Ciptasastra bukanlah semata tiruan daripada alam (imitation of nature) atau tiruan daripada hidup (imitation of life) akan tetapi ia merupakan penafsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu (interpretation of life). Sebuah ciptasatra juga mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia dan kemanusian. Tentang makna hidup dan kehidupan. Ia melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayang dan kebencian, nafsu dan segala yang dialami manusia. Dengan ciptasastra pengarang mau menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung. Mau menafsirkan tentang makna hidup dan hakekat kehidupan. Dapat saja sebuah ciptasastra menceritakan tentang kehidupan binatang, seperti misalnya karyasastra yang besar ‘Pancatanteran” atau “Hikayat Kalilah dan Daminah”, namun sebetulnya manusia. Jadi sesungguhnya karya tersebut tetap mengungkapkan kehidupan manusia akan tetapi ditulis perlambang-perlambang. Sebuah ciptasasra yang baik, mengajak orang untuk merenungkan masalah-masalah hidup yang musykil. Mengajak orang untuk berkontemplasi, menyadarkan dan membebaskan dari segala belenggu-belenggu pikiran yang jahat dan keliru. Sebuah ciptasastra mengajak orang untuk mengasihi manusia lain. Bahwa nasib setiap manusia meskipun berbeda-beda namun mempunyai persamaan-persamaan umum, bahwa mereka ditakdirkan untuk hidup, sedang hidup bukanlah sesuatu yang gampang tapi penuh perjuangan dan ancaman-ancaman. Ancaman-ancaman yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam (diri sendiri).
Jika disimpulkan maka “kesusastraan” adalah merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).

 PENDEKATAN KESUSASTRAAN
Sastra berasal dari kata castra berarti tulisan. Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci, surat-surat, undang-undang, dan sebagainya. Sastra dalam arti khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya. Secara morfologis, kesusastraan dibentuk dari dua kata, yaitu su dan sastra dengan mendapat imbuhan ke- dan -an. Kata su berarti baik atau bagus, sastra berarti tulisan. Secara harfiah, kesusastraan dapat diartikan sebagai tulisan yang baik atau bagus, baik dari segi bahasa, bentuk, maupun isinya.
Ada tiga hal yang berkaitan dengan pengertian sastra, yaitu ilmu sastra, teori sastra, dan karya sastra.
Ø  Ilmu sastra adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki secara ilmiah berdasarkan metode tertentu mengenai segala hal yang berhubungan dengan seni sastra. Ilmu sastra sebagai salah satu aspek kegiatan sastra meliputi hal-hal berikut.
·         Teori sastra, yaitu cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang asas-asas, hukum-hukum, prinsip dasar sastra, seperti struktur, sifat-sifat, jenis-jenis, serta sistem sastra.
·         Sejarah sastra, yaitu ilmu yang mempelajari sastra sejak timbulnya hingga perkembangan yang terbaru.
·         Kritik sastra, yaitu ilmu yang mempelajari karya sastra dengan memberikan pertimbangan dan penilaian terhadap karya sastra. Kritik sastra dikenal juga dengan nama telaah sastra.
·         Filologi, yaitu cabang ilmu sastra yang meneliti segi kebudayaan untuk mengenal tata nilai, sikap hidup, dan semacamnya dari masyarakat yang memiliki karya sastra.
Keempat cabang ilmu tersebut tentunya mempunyai keterkaitan satu sama lain dalam rangka memahami sastra secara keseluruhan.
Karya sastra pada dasarnya adalah sebagai alat komunikasi antara sastrawan dan masyarakat pembacanya. Karya sastra selalu berisi pemikiran, gagasan, kisahan, dan amanat yang dikomunikasikan kepada pembaca. Untuk menangkap ini, pembaca harus mampu mengapresiasikannya. Pengetahuan tentang pengertian sastra belum lengkap bila belum tahu manfaatnya. Horatius mengatakan bahwa manfaat sastra itu berguna dan menyenangkan. Secara lebih jelas dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.      Karya sastra dapat membawa pembaca terhibur melalui berbagai kisahan yang  disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan.
2.      Karya sastra dapat memperkaya jiwa/emosi pembacanya melalui pengalaman hidup para tokoh dalam karya.
3.      Karya sastra dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dari gagasan, pemikiran, cita-cita, serta kehidupan masyarakat yang digambarkan dalam karya.
4.      Karya sastra mengandung unsur pendidikan. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi. Karya sastra dapat digunakan untuk menjadi sarana penyampaian ajaran-ajaran yang bermanfaat bagi pembacanya.
5.      Karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau penelitian tentang keadaan sosial budaya masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra tersebut dalam waktu tertentu.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
Masalah sastra dan seni sangat erat hubungannya dengan ilmu budaya dasar, karena materi-materi yang diulas oleh ilmu budaya dasar ada yang berkaitan dengan sastra dan seni.Budaya Indonesia sanagat menunjukkan adanya sastra dan seni didalamnya. Latar belakang IBD dalam konteks budaya, negara dan masyarakat Indonesia berkaitan dengan masalah sebagai berikut :
1.      Kenyataan bahwa bangsa indonesia berdiri atas suku bangsa dengan segala keanekaragaman budaya yg tercemin dalam berbagai aspek kebudayaannya, yg biasanya tidak lepas dari ikatan2 primordial, kesukaan, dan kedaerahan .
2.      Proses pembangunan yg sedang berlangsung dan terus menerus menimbulkan dampak positif dan negatif berupa terjadinya perubahan dan pergeseran sistem nilai budaya sehingga dengan sendirinya mental manusiapun terkena pengaruhnya .
3.      Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan perubahan kondisi kehidupan mausia, menimbulkan konflik dengan tata nilai budayanya, sehingga manusia bingung sendiri terhadap kemajuan yg telah diciptakannya.

PROSES PENCIPTAAN KESUSASTRAAN

Seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas objektif itu dapat berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan lain-lain bentuk-bentuk realitas objektif itu. Ia ingin memberontak dan memprotes. Sebelum pemberontakan tersebut dilakukan (ditulis) ia telah memiliki suatu sikap terhadap realitas objektif itu. Setelah ada suatu sikap maka ia mencoba mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti realitas objektif yang sekarang ia tolak. Hal inilah yang kemudian ia ungkapkan di dalam ciptasastra yang diciptakannya. Ia mencoba mengutarakan sesuatu terhadap realitas objektif yang dia temukan. Ia ingin berpesan melalui ciptasastranya kepada orang lain tentang suatu yang ia anggap sebagai masalah manusia. Ia berusaha merubah fakta-fakta yang faktual menjadi fakta-fakta yang imajinatif dan bahkan menjadi fakta-fakta yang artistik. Pesan-pesan justru disampaikan dalam nilai-nilai yang artistik tersebut. Ia tidak semata-mata pesan-pesan moral ataupun khotbah-khotbah tentang baik dan buruk akan tetapi menjadi pesan-pesan yang artistik. Pesan-pesan yang ditawarkan dalam keterpesonaan dan senandung.
Dalam kesusastraan Indonesia masalah itu dengan jelas dapat dilihat. Misalnya kenyataan-kenyataan yang ada sekitar tahun 20-an terutama dalam masyarakat Minangkabau ialah masalah : kawin paksa. Pengarang kita pada waktu itu punya suatu sikap dan tidak puas dengan realitas objektif itu. Sikap itu bersifat subjektif: bahwa ia tidak senang dan memprotes. Akan tetapi sikap itu juga bersifat intersubjektif karena sikap itu dirasakan pula sebagai aspirasi yang umum. Sikap-sikap subjektif dan intersubjektif itulah yang kemudian diungkapkan di dalam ciptasastra-ciptasasra. Ciptasatra-ciptasastra itu tidak saja lagi sebagai pernyataan dari sikap akan tetapi juga merupakan pernyataan dari ciri-ciri berhubung dengan realitas objektif tresebut. Diungkapkan dalam suatu transformasi (warna) yang artistik, sesuai dengan ukuran-ukuran (kriteria-kriteria) kesusastraan. Karena itu sebuah ciptasastra selain merupakan pernyataan hati nurani pengarangnya, ia juga merupakan pengungkapan hati nurani masyarakatnya. Di dalamnya terdapat sikap, visi (pandangan hidup), cita-cita dan konsepsi dari pengarangnya. Dari masalah kawin paksa misalnya dalam kesusastraan Indoneisa lahirlah ciptasastra-ciptasastra : “Siti Nurbaya” dari Marah Rusli, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dari Hamka dan “Salah Asuhan” dari Abdul Muis (untuk menyebut beberapa ciptasastra- ciptasastra yang baik).
Sebuah ciptasastra merupakan kritik terhadap kenyataan-kenyataan yang berlaku. Atau seperti yang dikatakan Albert Camus (seorang pengarang dan filsuf Perancis yang pernah mendapat hadiah Nobel) merupakan pemberontakan terhadap realitas. Karyasastra Marah Rusli “Siti Nurbaya” merupakan kritik terhadap tata kehidupan masyarakat Minangkabau sekitar tahun 1920 – 1930. Demikian juga dengan “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” ataupun “Salah Asuhan”. “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana merupakan kritik terhadap kehidupan masyarakat Indonesia yang masih statis. Karya Idrus “Surabaya” juga adalah kritik terhadap ekses-ekses dan hal-hal yang negatif dari revolusi fisik. Demikian pula dengan sajak-sajak Khairil Anwar, kumpulan puisi Taufik Ismail ‘Benteng” dan “Tirani” atau juga novel Bambang Sularto “Domba-Domba Revolusi”.
Ciptasastra merupakan sintesa dari adanya tesa dan anti tesa. Tesa disini adalah kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Antitesa adalah sikap-sikap yang bersifat subjektif dan intersubjektif. Sedangkan sintesa adalah hasil dari perlawanan antara tesa dengan antitesa itu. Bersifat idealis, imajinatif dan kreatif, berdasarkan cita-cita dan konsepsi pengarang. Semuanya diungkapkan melalui bahasa sebagai media. Dengan demikian di dalam kesustraan ada beberapa faktor yang menjadi bahan pertimbangan. Yaitu faktor-faktor : Persoalan yang diungkapkan, keindahan pengungkapan dan faktor bahasa atau kata. Dalam kesusastraan Indonesia, yang dimaksudkan adalah pengungkapan persoalan-persoalan dan nilai-nilai tentang hidup (manusia dan kemanusiaan), terutama persoalan-persoalan dan nilai-nilai lain yang berhubungan dengan bangsa Indonesia serta diungkapkan dengan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai media.

BENTUK-BENTUK KESUSASTRAAN

Ada beberapa bentuk kesusastraan :
·         Puisi
·         Cerita Rekaan (fiksi)
·         Essay dan Kritik
·         Drama
Apakah yang membedakan antara puisi dengan cerita rekaan? Perbedaan itu akan terlihat dalam proses pengungkapannya. Dalam puisi akan dijumpai dua proses yang disebut Proses konsentrasi dan proses intensifikasi. Proses konsentrasi yakni proses pemusatan terhadap suatu focus suasana dan masalah, sedang proses intensifikasi adalah proses m pendalaman terhadap suasana dan masalah tersebut. Unsur-unsur struktur puisi berusaha membantu tercapainya kedua proses itu. Inilah hakekat puisi, yang kurang terlihat dalam proses (cerita rekaan, esei dan kritik serta drama). Pada prosa, suasana yang lain atau masalah-masalah yang lain dapat saja muncul di luar suasana dan masalah pokok yang ingin diungkapkan seorang pengarang dalam ciptasastranya.
Cerita-cerita (fiksi) sering dibedakan atas tiga macam bentuk yakni : Cerita pendek (cerpen), novel, dan roman. Akan tetapi di dalam kesusastraan Amerika umpanya hanya dikenal istilah : cerpen (short story) dan novel. Istilah roman tidak ada. Yang kita maksud dengan “roman” dalam kesusastraan Amerika adalah juga “novel”.
Novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang) dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya. Beberapa contoh novel dalam kesusastraan Indonesia misalnya adalah “Belenggu” karya Armin Pane, “Kemarau” karya A.A. Navis, “Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang.
Roman merupakan bentuk kesusastraan yang menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas dari kehidupan manusia. Biasanya dilukiskan mulai dari masa kanak-kanak sampai menjadi dewasa, akhirnya meninggal. Sebagai contoh misalnya roman “Siti Nurbaya”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” ataupun roman “Atheis” karya Akhdiat Kartamiharja. Istilah roman bersalah dari kesusastraan Perancis. “Roman” adalah bahasa rakyat sehari-hari di negeri Perancis. Kemudian berkembang artinya menjadi cerita-cerita tentang pengalaman-pengalaman kaum ksatria dan cerita-cerita kehidupan yang jenaka, dari pedesaan. Sekarang pengertian roman telah menyangkut tentang kehidupan manusia pada umumnya.
Bentuk ciptasatra yang lain adalah esei dan kritik. Esei adalah suatu karangan yang berisi tanggapan-tanggapan, komentar, pikiran-pikiran tentang suatu persoalan. Setiap esei bersifat subjektif, suatu pengucapan jiwa sendiri. Di dalam esei bila kita lihat pribadi dan pendirian pengarang. Pikiran-pikirannya, sikap-sikapnya, ciata-citanya dan keinginannya terhadap soal yang dibicarakannya. Atau terhadap hidup pada umumnya. Dalam esei tidak diperlukan adanya suatu konklusi (kesimpulan). Esei bersifat sugestif dan lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif. Berbeda dengan esei adalah studi. Ia merupakan suatu karangan sebuah ciptasastra. Suatu kritik juga bersifat subjektif meskipun barangkali menggunakan term-term yang objektif. Kritik merupakan salah satu bentuk esei. Suatu kritik (sastra) yang baik juga harus lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif daripada memberikan vonis. Beberapa penulis esei yang terkenal dalamf kesusastraan Indonesia adalah Gunawan Mohammad, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Sujatmoko, Buyung Saleh (Tokoh Lekra), Umar Khayam dan lain-lain. Sedang tokoh-tokoh kritikus yang terkenal antara lain adalah : H.B. Yassin, Prof. Dr. A. Teeuw, M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Boen Sri Umaryati, M. Saleh Saad, Umar Yunus dan lain-lain.
Bentuk kesusastraan yang lain adalah drama atau sandiwara (sandi = rahasia, Wara = pelajaran). Artinya pelajaran yang disampaikan secara rahasia. Drama atau sandiwara yang digolongkan ke dalam ciptasastra bukanlah drama atau sandiwara yang dimainkan (dipergelarkan) tetapi adalah cerita, atau naskah, atau reportoar yang akan dimainkan tersebut. Hakekat drama adalah terjadinya suatu konflik. Baik konflik antara tokoh, ataupun konflik dalam persoalan maupun konflik dalam diri seorang tokoh. Konflik inilah nanti yang akan mendorong dialog dan menggerakkan action.

SASTRA INDONESIA MODERN

1.       Periodisasi Sastra Angkatan Balai Pustaka (1920—1933)
Balai Pustaka didirikan pada tahun 1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko, 2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan sekolah bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang “tepat” bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu:
1.    merekrut dewan redaksi secara selektif
2.    membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis
3.    menentukan kriteria literer
4.    mendominasi dunia kritik sastra
Pada masa ini bahasa Melayu Riau dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu:
-    Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
-    Alur : Alur Lurus.
-    Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
-    Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
-    Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu kelancaran teks.
-    Corak : Romantis sentimental.
-    Sifat : Didaktis (pendidikan)
-    Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
-    Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
-    Puisinya berbentuk syair dan pantun.
-    Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
-    Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.

2.    Angkatan Pujangga Baru (1933—1942)
a)   Latar belakang terbitnya Pujangga Baru
       Buku Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai (antologia) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam Angkatan Pujangga Baru Seperti diketahui, oleh para ahli dan parapenyusun buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia dibagi-bagimenjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya ditempatkan sebagaiangkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan mendahului kelahiran angkatan‘45. Tetapi kita lihat pembagian sejarah sastra Indonesia dalam angkatan-angkatan ini, tidaklah disertai dengan alasan-alasan yang bisa kita terima. Tidak sedikit pula para sastrawan yang menolak atau tidak mau dimasukan dalam sesuatu angkatan, mereka memilih masuk angkatan yang disukainya. Misalnya Achdiat K. Mihardja pernah menyatakan bahwa ia lebih suka digolongkan kepada angkatan Pujangga Baru, padahal para ahli telah menggolongkannya kepada angkatan ‘45. Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis. Ketika sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut ke arah kemajuan. Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers).
Hal ini tak mengherankan sebab pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos.
Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane lebih banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang pengarang mistikus ke-Timuran. 
Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan modern.
Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya.
Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu dalam cita-cita dan semangat mereka, yaitu semangat membangun kebudayaan Indonesia yang baru dan maju. Itulah sebabnya mereka dapat bekerjasama, misalnya saja dalam memelihara dan memajukan penerbitan majalah Pujangga Baru.

b) Karakteristik Karya Angkatan Pujangga Baru    
-  Dinamis
- Bercorak romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja kalau  romantik  angkatan  Siti  Nurbaya  bersifat  fasip,  sedangkan  angkatan  Pujangga Baru aktif romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku lagi.
-   Angkatan  Pujangga  Baru  menggunakan  bahasa  Melayu  modern  dan  sudah meninggalkan  bahasa  klise.  Mereka  berusaha  membuat  ungkapan  dan  gaya  bahasa sendiri.  Pilihan  kata,  Penggabungan  ungkapan  serta  irama  sangat  dipentingkan  oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari.
Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri: 
-    Bentuk  puisi  yang  memegang  peranan  penting  adalah  soneta,  disamping  itu ikatan-ikatan  lain  seperti  quatrain  dan  quint  pun  banyak  dipergunakan.  Sajak jumlah  suku  kata  dan  syarat-syarat  puisi  lainnya  sudah  tidak  mengikat  lagi, kadang-kadang  para  Pujangga  Baru  mengubah  sajak  atau  puisi  yang  pendek-pendek,  cukup  beberapa  bait  saja.  Sajak-sajak  yang  agak  panjang  hanya  ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan ”Hang Tuah” karya Amir Hamjah. 
-    Tema  dalam  karya  prosa  (roman)  bukan  lagi  pertentangan  faham  kaum  muda dengan  adat  lama  seperti  angkatan  Siti  Nurbaya,  melainkan  perjuangan kemerdekaan  dan  pergerakan  kebangsaan,  misalnya  pada  roman  Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana
-    Bentuk  karya  drama  pun  banyak  dihasilkan  pada  masa  Pujangga  Baru  dengan tema  kesadaran  nasional.  Bahannya  ada  yang  diambil  dari  sejarah  dan  ada  pula yang semata-mata pantasi pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis. 

3.    Periodisasi Sastra Angkatan 45 
a)     Sejarah Lahirnya Angkatan 45
        Jika  diruntut  berdasarkan  periodesasinya,  sastra  Indonesia  Angkatan  ‘45  bisa dikatakan  sebagai  angkatan  ketiga  dalam  lingkup  sastra  baru  Indonesia,    setelah  angkatan Balai  Pustaka  dan    angkatan  Pujangga  Baru.  Munculnya  karya-karya  sastra  Angkatan  ‘45 yang  dipelopori  oleh  Chairil  Anwar  ini  memberi  warna  baru  pada  khazanah  kesusastraan Indonesia.  Bahkan  ada  orang  yang  berpendapat  bahwa  sastra  Indonesia  baru  lahir  dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu.
 Pada  mulanya  angkatan  ini  disebut  dengan  berbagai  nama,  ada  yang  menyebut Angkatan  Sesudah  Perang,  Angkatan  Chairil  Anwar,  Angkatan  Kemerdekaan,  dan  lain-lain. Baru  pada  tahun  1948,  Rosihan  Anwar  menyebut  angkatan  ini  dengan  nama  Angkatan  ‘45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi.  Meskipun namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum  dirumuskan.
 
Baru  pada  tahun  1950  “Surat  Kepercayaan  Gelanggang”  dibuat  dan diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepecayaan itu ialah semacam pernyataan sikap  yang menjadi dasar pegangan perkumpulan “Selayang Seniman Merdeka”.  Masa Chairil Anwar masih hidup.  Angkatan ‘45 lebih realistik dibandingkan dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik idealistik.

        Semangat patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan ‘45 tercermin  dari    sebagian  besar  karya-karya  yang  dihasilkan  oleh  parasastrawan  tersebut. Beberapa karya Angkatan ‘45 ini mencerminkan perjuangan menuntut kemerdekaan. Banyak pula di antaranya  yang selalu mendapatkan kecaman, di antaranya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya  dengan  keprofesionalannya  masih  eksis  menghasilkan  karya-karya  terutama mengenai perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat ini karya-karya Pramoedya masih digandrungi khususnya oleh penikmat sastra.

Sebegitu  banyak  orang  yang  memproklamasikan  kelahiran  dan  membela  hak hidup  Angkatan  ‘45,  sebanyak  itu  pulalah  yang  menentangnya.  Armijn  Pane berpendapat bahwa Angkatan ‘45 ini hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan sebelumnya,  yaitu  Angkatan  Pujangga  Baru.  Sutan  Takdir  Alisyahbana  pun  berpendapat demikian. 

b)    Beberapa Pendapat Tentang Angkatan ‘45
- Armijn Pane: Pujangga  Baru  menentang  adanya  Angkatan  ‘45  dan  menganggap  bahwa  tak  ada  yang disebut Angkatan ‘45.
-    Sutan Takdir Alisyahbana: Angkatan ‘45 merupakan sambungan dari Pujangga Baru.
-    Teeuw: Memang  berbeda  Angkatan  ‘45  dengan  Angkatan  Pujangga  Baru,  tetapi  ada  garis penghubung,  misalnya  Armijn  Pane  dengan  Belenggu-nya.  (puncak-puncak  kesusastraan Indonesia).
-    Sitor Situmorang: Pujangga Baru masih terikat oleh zamannya, yaitu zaman penjajahan, sedangkan Angkatan  ‘45  dalam  soal  kebudayaan  tidak  membedakan  antara  Barat  dan  Timur, tetapi yang penting hakikat manusia. Perjuangan Pujangga Baru baru mencapai kepastian dan ilmu pengetahuan.
-   Pramoedya Ananta Toer: Angkatan  Pujangga  Baru  banyak  ilmu  pengetahuannya  tetapi  tidak    banyak mempunyai penghidupan (pengalaman). Angkatan  ‘45  kurang  dalam  ilmu  pengetahuan  (karena  perang)  tetapi  sadar  akan kehidupan. 

c)    Karakteristik Karya Angkatan 45
-   Bercorak  lebih  realistik  dibanding  karya  Angkatan  Pujangga  Baru  yang    romantik-idealistik.
-    Pengalaman  hidup  dan  gejolak  sosial-politik-budaya  mewarnai  karya  sastrawan Angkatan ’45.
-    Bahasanya lugas, hidup dan berjiwa serta bernilai sastra.
-      Sastrawannya lebih berjiwa patriotik.
-     Bergaya ekspresi dan revolusioner (H.B.Yassin).
-      Bertujuan universal nasionalis.
-     Bersifat praktis.
-    Sikap sastrawannya “tidak berteriak tetapi melaksanakan” .

4.    Periodisasi Sastra Angkatan 1950

a)    Sejarah Lahirnya Periode ‘50
       Slamet  Muljono  pernah  menyebut  bahwa  sastrawan  Angkatan 50  hanyalah  pelanjut (successor) saja, dari angkatan sebelumnya (’45). Tinjauan  yang  mendalam  dan  menyeluruh  membuktikan  bahwa  masa  ini  pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu: 
a.    Berisi kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan (tradisi) yang diletakan pada tahun 1945. 
b.    Masa ‘50 memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan yang terakhir dicapai nasional lebih lanjut). Periode  ‘50  tidak  hanya  pengekor  (epigon)  dari  angkatan  ‘45,  melainkan  merupakan survival, setelah melalui masa-masa kegonjangan.  Adapun ciri-cirinya yang lebih rinci adalah sebagai berikut:
-       Pusat  kegiatan  sastra  makin  banyak  jumlahnya  dan  makin  meluas  daerahnya  hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta dan Yogyakarta.
-     Terdapat  pengungkapan  yang  lebih  mendalam  terhadap  kebudayaan  daerah  dalam menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.
-     Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi lebih  kepada  peleburan  (kristalisasi)  antara  ilmu  dan  pengetahuan  asing  dengan perasaan dan ukuran nasional. 

b)    Ciri-ciri Periode 50-an 

        Angkatan  50-an  ditandai  dengan  terbitnya  majalah  sastra  Kisah  asuhan  H.B.  Jasin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya. Kemudian angkatan ini dikenal dengan karyanya berupa sastra majalah.      
Pada  angkatan  ini  muncul  gerakan  komunis  dikalangan  sastrawan  yang  bergabung dalam  Lembaga  Kebudayaan  Rakyat  (Lekra),  yang  berkonsep  sastra  realisme  sosialis. Timbullah  perpecahan  antara  sastrawan  sehingga  menyebabkan  mandegnya  perkembangan sastra,  karena  masuk  ke  dalam  politik  praktis,  sampai  berakhir  pada  tahun  1965  dengan pecahnya G30 S/PKI di Indonesia.
Adapun ciri-ciri dari periode ini antara lain:
a.    Umumnya karya sastrawan sekitar tahun 1950-1960-an;
b.  Sampai tahun 1950-1955, sastrawan angkatan ‘45 juga masih menerbitkan karyanya;
c.    Corak karya cukup beragam, karena pengaruh faktor politik/idiologi partai;
d.   Terjadi peristiwa G 30 S/PKI sehingga sastrawan Lekra disingkirkan.   

c)    Masalah yang Dihadapi Periode 50 

        Angkatan ’50 mengalami kendala dalam menerbitkan karya-karyanya, dikarenakan Balai Pustaka sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini bernaung dibawah P dan K dan pergantian status yang dilakukan hanya dalam waktu yang  singkat  dan    tidak  menentu,  di  tambah  penempatan  pemimpin  yang  bukan  ahli, sehingga  tidak  dapat  mengelola  anggaran  yang  tersedia    yang  berakibat  macetnya  produksi karya. Setelah  Balai  Pustaka  yang  mengalami  kesulitan  penerbitan,  penerbit    yang  lainnya  pun mengalami nasib serupa, seperti penerbit seperti Pembangunan dan Tintamas.  Oleh sebab itu, karya-karya sastra hanya banyak bermunculan di majalah-majalah seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Oleh sebab itu pula karya yang banyak ditampilkan terutama sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek,    sesuai  dengan  kebutuhan  majalah-majalah  tersebut,  maka  tak  anehlah kalau para pengarang pun lantas hanya mengarang  cerpen, sajak dan karangan-karangan  lain  yang  pendek-pendek.  Keadaan  seperti  itulah  yang  menyebabkan  lahirnya  istilah sastra  majalah.  Istilah  ini  dilansir  dan  diperkenelkan  oleh  Nugroho  Notosusanto  dalam tulisannya Situasi 1954 yang dimuat di majalah Kompas yang dipimpinnya. 

5.    Periodisasi SastraAngkatan 1966

        Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa ini sastra sangat dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Pada tahun 1961 Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme, dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah panglima”. Sementara Menifes Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan dan merupakan sebuah reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra Revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia.
Pelarangan Manifes Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada di barisan. Adapun buku-buku yang pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan Revolusi, Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja , Korupsi dll; Utuy T. Sontani, Suling, Bunga Rumah makan,Orang-orang Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra, Jejak Langkah , Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern.

Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut:
-    mempunyai konsepsi Pancasila
-    menggemakan protes sosial dan politik
-    membawa kesadaran nurani manusia
-    mempunyai kesadaran akan moral dan agama

6.    Periodisasi Sastra Angkatan 70-an

              Pada masa ini karya sastra berperan untuk membentuk pemikiran tentang keindonesiaan setelah mengalami kombinasi dengan pemikiran lain, seperti budaya. Ide, filsafat, dan gebrakan-gebrakan baru muncul di era ini, beberapa karya keluar dari paten dengan memperbincangkan agama dan mulai bermunculan kubu-kubu sastra populer dan sastra majalah. Pada masa ini pula karya yang bersifat absurd mulai tampak.

              Di tahun 1980—1990-an banyak penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena mereka dilihat dari kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal sampai sekarang adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang memperhatikan sastra dan membuka ruang untuk semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia senantiasa memiliki kreativitas dengan belajar dari berbagai paten karya, baik itu karya populer, kedaerahan, maupun karya urban. Sementara setelah masa reformasi, yaitu tahun 2000-an, kondisi sastra tanah air dapat digambarkan sebagai berikut:
-    Kritik Rezim Orde Baru
-    Wacana Urban dan Adsurditas
-    Kritik Pemerintah terus berjalan
-    Sastra masuk melalui majalah selain majalah sastra.
-    Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman sekarang
-    Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak karya Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.

              Seperti seorang anak, Sastra mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra tidak akan dewasa hingga jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui pemikiran dan karya sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar dari paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra memiliki karakter yang diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an hingga saat ini, sastra kembali memiliki keragaman kahzanah dari yang populer, kritik, reflektif, dan masuk ke ranah erotika dan absurditas.

7.    Periodisasi Sastra Angkatan 2000-an sampai sekarang

              Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasih muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karna tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya “Angkatan 2000”. Sebuah buku tebal tentang angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmad Yosi Herfanda, dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada 1990-an  seperti Ayu Utami, dan Dhorotea Rosa Herliany.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000

a.     Ayu Utami
-      Saman (1998)
-      Larung (2001)
-      Bilangan Fu (2008)
-      Manjali dan Cakrabirawa (2010)
-      Lalita

b.    Seno Gumira Ajidarma
-    Atas Nama Malam
-    Sepotong Senja Untuk Pacarku
-     Biola Tak Berdawai

c. Dewi Lestari
-    Supernova 1: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh (2001)
-    Supernova 2: Akar (2002)
-    Filosofi Kopi (2003)
-    Supernova 3: Petir (2004)
-    Perahu Kertas (2009)
-    Supernova 4: Partikel (2012)
-    Supernova 5: Gelombang (2014)
-    Supernova 6: Intelegensi Embun Pagi (2016)

d. Raudal Tanjung Banua
-    Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
-    Ziarah Bagi Yang Hidup (2004)
-    Perang Tak Berulu (2005)
-     Gugusan Mata Ibu (2005)

e. Habiburrahman El Shirazy
-    Ayat-ayat Cinta (2004)
-    Di Atas Sajadah Cinta (2004)
-    Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
-    Pudarnya Pesona Cleopatra(2005)
-    Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
-    Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
-    Dalam Mihrab Cinta (2007)

f. Andrea Hirata
-    Laskar Pelangi (2005)
-    Sang Pemimpi (2006)
-    Edensor (2007)
-    Maryamah Karpov (2008)
-    Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)

g.  Ahmad Faudi
-    Negeri Lima Menara (2009)
-    Ranah Tiga Warna (2011)

h. Tosa
-    Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
-    Melan Conis (2009)

SUMBER :


Komentar