PENGERTIAN
KESUSASTRAAN
Secara etimologi (menurut
asal-usul kata) kesusastraan berarti karangan yang indah. “sastra” (dari bahasa
Sansekerta) artinya : tulisan, karangan. Akan tetapi sekarang pengertian
“Kesusastraan” berkembang melebihi pengertian etimologi tersebut. Kata “Indah”
amat luas maknanya. Tidak saja menjangkau pengertian-pengertian lahiriah tapi
terutama adalah pengertian-pengertian yang bersifat rohaniah. Misalnya,
bukankah pada wajah yang jelak orang masih bisa menemukan hal-hal yang indah.
Sebuah cipta sastra yang indah,
bukanlah karena bahasanya yang beralun-alun dan penuh irama. Ia harus dilihat
secara keseluruhan: temanya, amanatnya dan strukturnya. Pada nilai-nilai yang
terkandung di dalam ciptasastra itu.
Ada beberapa nilai yang harus
dimiliki oleh sebuah ciptasastra. Nilai-nilai itu adalah : Nilai-nilai
estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai yang bersifat konsepsionil. Ketiga
nilai tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan sama sekali. Sesuatu yang
estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan
tanpa moral. Tapi apakah moral itu? Ia bukan hanya semacam sopan santun ataupun
etiket belaka. Ia adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai tentang
kemanusiaan. Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang universal. Demikian
juga tentang nilai-nilai yang bersifat konsepsionil itu. Dasarnya adalah juga
nilai tentang keindahan yang sekaligus merangkum nilai tentang moral.Nilai- nilai
estetika kita jumpai tidak hanya dalam bentuk (struktur) ciptasastra tetapi
juga dalam isinya (tema dan amanat) nya. Nilai moral akan terlihat dalam sikap
terhadap apa yang akan diungkapkan dalam sebuah ciptasastra cara bagaimana
pengungkapannya itu. Nilai konsepsi akan terlihat dalam pandangan pengarang
secara keseluruhan terhadap masalah yang diungkapkan di dalam ciptasastra yang
diciptakan.
Sebuah ciptasastra bersumber dari
kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat (realitas-objektif). Akan
tetapi ciptasastra bukanlah hanya pengungkapan realitas objektif itu saja. Di
dalamnya diungkapkan pula nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dari
sekedar realitas objektif. Ciptasastra bukanlah semata tiruan daripada alam
(imitation of nature) atau tiruan daripada hidup (imitation of life) akan
tetapi ia merupakan penafsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu
(interpretation of life). Sebuah ciptasatra juga mengungkapkan tentang
masalah-masalah manusia dan kemanusian. Tentang makna hidup dan kehidupan. Ia
melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayang dan
kebencian, nafsu dan segala yang dialami manusia. Dengan ciptasastra pengarang
mau menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung. Mau menafsirkan
tentang makna hidup dan hakekat kehidupan. Dapat saja sebuah ciptasastra
menceritakan tentang kehidupan binatang, seperti misalnya karyasastra yang
besar ‘Pancatanteran” atau “Hikayat Kalilah dan Daminah”, namun sebetulnya
manusia. Jadi sesungguhnya karya tersebut tetap mengungkapkan kehidupan manusia
akan tetapi ditulis perlambang-perlambang. Sebuah ciptasasra yang baik,
mengajak orang untuk merenungkan masalah-masalah hidup yang musykil. Mengajak
orang untuk berkontemplasi, menyadarkan dan membebaskan dari segala
belenggu-belenggu pikiran yang jahat dan keliru. Sebuah ciptasastra mengajak
orang untuk mengasihi manusia lain. Bahwa nasib setiap manusia meskipun
berbeda-beda namun mempunyai persamaan-persamaan umum, bahwa mereka ditakdirkan
untuk hidup, sedang hidup bukanlah sesuatu yang gampang tapi penuh perjuangan
dan ancaman-ancaman. Ancaman-ancaman yang datang dari luar maupun yang datang
dari dalam (diri sendiri).
Jika disimpulkan maka
“kesusastraan” adalah merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif
sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai
medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).
PENDEKATAN
KESUSASTRAAN
Sastra berasal dari kata castra
berarti tulisan. Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan
macam tulisan yang ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan,
kitab-kitab suci, surat-surat, undang-undang, dan sebagainya. Sastra dalam arti
khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan
perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan
sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang
lahir dari perasaan dan pemikirannya. Secara morfologis, kesusastraan dibentuk
dari dua kata, yaitu su dan sastra dengan mendapat imbuhan ke- dan -an. Kata su
berarti baik atau bagus, sastra berarti tulisan. Secara harfiah, kesusastraan
dapat diartikan sebagai tulisan yang baik atau bagus, baik dari segi bahasa,
bentuk, maupun isinya.
Ada tiga hal yang berkaitan dengan
pengertian sastra, yaitu ilmu sastra, teori sastra, dan karya sastra.
Ø Ilmu sastra adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
secara ilmiah berdasarkan metode tertentu mengenai segala hal yang berhubungan
dengan seni sastra. Ilmu sastra sebagai salah satu aspek kegiatan sastra
meliputi hal-hal berikut.
· Teori sastra,
yaitu cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang asas-asas, hukum-hukum,
prinsip dasar sastra, seperti struktur, sifat-sifat, jenis-jenis, serta sistem
sastra.
· Sejarah
sastra, yaitu ilmu yang mempelajari sastra sejak timbulnya hingga perkembangan
yang terbaru.
· Kritik
sastra, yaitu ilmu yang mempelajari karya sastra dengan memberikan pertimbangan
dan penilaian terhadap karya sastra. Kritik sastra dikenal juga dengan nama
telaah sastra.
· Filologi,
yaitu cabang ilmu sastra yang meneliti segi kebudayaan untuk mengenal tata
nilai, sikap hidup, dan semacamnya dari masyarakat yang memiliki karya sastra.
Keempat cabang ilmu tersebut tentunya mempunyai keterkaitan
satu sama lain dalam rangka memahami sastra secara keseluruhan.
Karya sastra pada dasarnya adalah sebagai alat komunikasi
antara sastrawan dan masyarakat pembacanya. Karya sastra selalu berisi
pemikiran, gagasan, kisahan, dan amanat yang dikomunikasikan kepada pembaca.
Untuk menangkap ini, pembaca harus mampu mengapresiasikannya. Pengetahuan
tentang pengertian sastra belum lengkap bila belum tahu manfaatnya. Horatius
mengatakan bahwa manfaat sastra itu berguna dan menyenangkan. Secara lebih
jelas dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Karya sastra dapat membawa
pembaca terhibur melalui berbagai kisahan yang disajikan pengarang
mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin
dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan.
2. Karya sastra dapat
memperkaya jiwa/emosi pembacanya melalui pengalaman hidup para tokoh dalam
karya.
3. Karya sastra dapat
memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dari gagasan, pemikiran, cita-cita,
serta kehidupan masyarakat yang digambarkan dalam karya.
4. Karya sastra mengandung
unsur pendidikan. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai tradisi budaya
bangsa dari generasi ke generasi. Karya sastra dapat digunakan untuk menjadi
sarana penyampaian ajaran-ajaran yang bermanfaat bagi pembacanya.
5. Karya sastra dapat
dijadikan sebagai bahan perbandingan atau penelitian tentang keadaan sosial
budaya masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra tersebut dalam waktu
tertentu.
Menurut Koentjaraningrat
sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa
bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan
merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah
lingkup kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa
bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang
sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa
dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan
itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka
kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya
interaksi itu.
Masalah sastra dan seni sangat
erat hubungannya dengan ilmu budaya dasar, karena materi-materi yang diulas
oleh ilmu budaya dasar ada yang berkaitan dengan sastra dan seni.Budaya
Indonesia sanagat menunjukkan adanya sastra dan seni didalamnya. Latar belakang
IBD dalam konteks budaya, negara dan masyarakat Indonesia berkaitan dengan
masalah sebagai berikut :
1. Kenyataan bahwa bangsa
indonesia berdiri atas suku bangsa dengan segala keanekaragaman budaya yg
tercemin dalam berbagai aspek kebudayaannya, yg biasanya tidak lepas dari
ikatan2 primordial, kesukaan, dan kedaerahan .
2. Proses pembangunan yg
sedang berlangsung dan terus menerus menimbulkan dampak positif dan negatif
berupa terjadinya perubahan dan pergeseran sistem nilai budaya sehingga dengan
sendirinya mental manusiapun terkena pengaruhnya .
3. Kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi menimbulkan perubahan kondisi kehidupan mausia, menimbulkan
konflik dengan tata nilai budayanya, sehingga manusia bingung sendiri terhadap
kemajuan yg telah diciptakannya.
PROSES
PENCIPTAAN KESUSASTRAAN
Seorang pengarang berhadapan
dengan suatu kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat (realitas objektif).
Realitas objektif itu dapat berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata
nilai), pandangan hidup dan lain-lain bentuk-bentuk realitas objektif itu. Ia
ingin memberontak dan memprotes. Sebelum pemberontakan tersebut dilakukan
(ditulis) ia telah memiliki suatu sikap terhadap realitas objektif itu. Setelah
ada suatu sikap maka ia mencoba mengangankan suatu “realitas” baru sebagai
pengganti realitas objektif yang sekarang ia tolak. Hal inilah yang kemudian ia
ungkapkan di dalam ciptasastra yang diciptakannya. Ia mencoba mengutarakan
sesuatu terhadap realitas objektif yang dia temukan. Ia ingin berpesan melalui
ciptasastranya kepada orang lain tentang suatu yang ia anggap sebagai masalah
manusia. Ia berusaha merubah fakta-fakta yang faktual menjadi fakta-fakta yang
imajinatif dan bahkan menjadi fakta-fakta yang artistik. Pesan-pesan justru
disampaikan dalam nilai-nilai yang artistik tersebut. Ia tidak semata-mata
pesan-pesan moral ataupun khotbah-khotbah tentang baik dan buruk akan tetapi
menjadi pesan-pesan yang artistik. Pesan-pesan yang ditawarkan dalam keterpesonaan
dan senandung.
Dalam kesusastraan Indonesia
masalah itu dengan jelas dapat dilihat. Misalnya kenyataan-kenyataan yang ada
sekitar tahun 20-an terutama dalam masyarakat Minangkabau ialah masalah : kawin
paksa. Pengarang kita pada waktu itu punya suatu sikap dan tidak puas dengan
realitas objektif itu. Sikap itu bersifat subjektif: bahwa ia tidak senang dan
memprotes. Akan tetapi sikap itu juga bersifat intersubjektif karena sikap itu
dirasakan pula sebagai aspirasi yang umum. Sikap-sikap subjektif dan
intersubjektif itulah yang kemudian diungkapkan di dalam
ciptasastra-ciptasasra. Ciptasatra-ciptasastra itu tidak saja lagi sebagai
pernyataan dari sikap akan tetapi juga merupakan pernyataan dari ciri-ciri
berhubung dengan realitas objektif tresebut. Diungkapkan dalam suatu
transformasi (warna) yang artistik, sesuai dengan ukuran-ukuran
(kriteria-kriteria) kesusastraan. Karena itu sebuah ciptasastra selain
merupakan pernyataan hati nurani pengarangnya, ia juga merupakan pengungkapan
hati nurani masyarakatnya. Di dalamnya terdapat sikap, visi (pandangan hidup),
cita-cita dan konsepsi dari pengarangnya. Dari masalah kawin paksa misalnya
dalam kesusastraan Indoneisa lahirlah ciptasastra-ciptasastra : “Siti Nurbaya”
dari Marah Rusli, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dari Hamka dan “Salah
Asuhan” dari Abdul Muis (untuk menyebut beberapa ciptasastra- ciptasastra yang
baik).
Sebuah ciptasastra merupakan
kritik terhadap kenyataan-kenyataan yang berlaku. Atau seperti yang dikatakan
Albert Camus (seorang pengarang dan filsuf Perancis yang pernah mendapat hadiah
Nobel) merupakan pemberontakan terhadap realitas. Karyasastra Marah Rusli “Siti
Nurbaya” merupakan kritik terhadap tata kehidupan masyarakat Minangkabau
sekitar tahun 1920 – 1930. Demikian juga dengan “Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck” ataupun “Salah Asuhan”. “Layar Terkembang” karya Sutan Takdir
Alisyahbana merupakan kritik terhadap kehidupan masyarakat Indonesia yang masih
statis. Karya Idrus “Surabaya” juga adalah kritik terhadap ekses-ekses dan hal-hal
yang negatif dari revolusi fisik. Demikian pula dengan sajak-sajak Khairil
Anwar, kumpulan puisi Taufik Ismail ‘Benteng” dan “Tirani” atau juga novel
Bambang Sularto “Domba-Domba Revolusi”.
Ciptasastra merupakan sintesa dari
adanya tesa dan anti tesa. Tesa disini adalah kenyataan-kenyataan yang
dihadapi. Antitesa adalah sikap-sikap yang bersifat subjektif dan
intersubjektif. Sedangkan sintesa adalah hasil dari perlawanan antara tesa
dengan antitesa itu. Bersifat idealis, imajinatif dan kreatif, berdasarkan cita-cita
dan konsepsi pengarang. Semuanya diungkapkan melalui bahasa sebagai media.
Dengan demikian di dalam kesustraan ada beberapa faktor yang menjadi bahan
pertimbangan. Yaitu faktor-faktor : Persoalan yang diungkapkan, keindahan
pengungkapan dan faktor bahasa atau kata. Dalam kesusastraan Indonesia, yang
dimaksudkan adalah pengungkapan persoalan-persoalan dan nilai-nilai tentang
hidup (manusia dan kemanusiaan), terutama persoalan-persoalan dan nilai-nilai
lain yang berhubungan dengan bangsa Indonesia serta diungkapkan dengan
menggunakan Bahasa Indonesia sebagai media.
BENTUK-BENTUK
KESUSASTRAAN
Ada beberapa bentuk kesusastraan :
·
Puisi
·
Cerita Rekaan (fiksi)
·
Essay dan Kritik
·
Drama
Apakah yang membedakan antara
puisi dengan cerita rekaan? Perbedaan itu akan terlihat dalam proses
pengungkapannya. Dalam puisi akan dijumpai dua proses yang disebut Proses
konsentrasi dan proses intensifikasi. Proses konsentrasi yakni proses pemusatan
terhadap suatu focus suasana dan masalah, sedang proses intensifikasi adalah proses
m pendalaman terhadap suasana dan masalah tersebut. Unsur-unsur struktur puisi
berusaha membantu tercapainya kedua proses itu. Inilah hakekat puisi, yang
kurang terlihat dalam proses (cerita rekaan, esei dan kritik serta drama). Pada
prosa, suasana yang lain atau masalah-masalah yang lain dapat saja muncul di
luar suasana dan masalah pokok yang ingin diungkapkan seorang pengarang dalam
ciptasastranya.
Cerita-cerita (fiksi) sering
dibedakan atas tiga macam bentuk yakni : Cerita pendek (cerpen), novel, dan
roman. Akan tetapi di dalam kesusastraan Amerika umpanya hanya dikenal istilah
: cerpen (short story) dan novel. Istilah roman tidak ada. Yang kita maksud
dengan “roman” dalam kesusastraan Amerika adalah juga “novel”.
Novel merupakan pengungkapan dari
fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang) dimana terjadi
konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup
antara para pelakunya. Beberapa contoh novel dalam kesusastraan Indonesia
misalnya adalah “Belenggu” karya Armin Pane, “Kemarau” karya A.A. Navis,
“Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang.
Roman merupakan bentuk
kesusastraan yang menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas dari kehidupan
manusia. Biasanya dilukiskan mulai dari masa kanak-kanak sampai menjadi dewasa,
akhirnya meninggal. Sebagai contoh misalnya roman “Siti Nurbaya”, “Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck” ataupun roman “Atheis” karya Akhdiat Kartamiharja. Istilah
roman bersalah dari kesusastraan Perancis. “Roman” adalah bahasa rakyat
sehari-hari di negeri Perancis. Kemudian berkembang artinya menjadi cerita-cerita
tentang pengalaman-pengalaman kaum ksatria dan cerita-cerita kehidupan yang
jenaka, dari pedesaan. Sekarang pengertian roman telah menyangkut tentang
kehidupan manusia pada umumnya.
Bentuk ciptasatra yang lain adalah
esei dan kritik. Esei adalah suatu karangan yang berisi tanggapan-tanggapan,
komentar, pikiran-pikiran tentang suatu persoalan. Setiap esei bersifat
subjektif, suatu pengucapan jiwa sendiri. Di dalam esei bila kita lihat pribadi
dan pendirian pengarang. Pikiran-pikirannya, sikap-sikapnya, ciata-citanya dan
keinginannya terhadap soal yang dibicarakannya. Atau terhadap hidup pada
umumnya. Dalam esei tidak diperlukan adanya suatu konklusi (kesimpulan). Esei
bersifat sugestif dan lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif. Berbeda
dengan esei adalah studi. Ia merupakan suatu karangan sebuah ciptasastra. Suatu
kritik juga bersifat subjektif meskipun barangkali menggunakan term-term yang
objektif. Kritik merupakan salah satu bentuk esei. Suatu kritik (sastra) yang
baik juga harus lebih banyak memperlihatkan alternatif-alternatif daripada
memberikan vonis. Beberapa penulis esei yang terkenal dalamf kesusastraan
Indonesia adalah Gunawan Mohammad, Arief Budiman, Wiratmo Sukito, Sujatmoko,
Buyung Saleh (Tokoh Lekra), Umar Khayam dan lain-lain. Sedang tokoh-tokoh
kritikus yang terkenal antara lain adalah : H.B. Yassin, Prof. Dr. A. Teeuw,
M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, Boen Sri Umaryati, M. Saleh Saad, Umar Yunus
dan lain-lain.
Bentuk kesusastraan yang lain
adalah drama atau sandiwara (sandi = rahasia, Wara = pelajaran). Artinya
pelajaran yang disampaikan secara rahasia. Drama atau sandiwara yang
digolongkan ke dalam ciptasastra bukanlah drama atau sandiwara yang dimainkan
(dipergelarkan) tetapi adalah cerita, atau naskah, atau reportoar yang akan
dimainkan tersebut. Hakekat drama adalah terjadinya suatu konflik. Baik konflik
antara tokoh, ataupun konflik dalam persoalan maupun konflik dalam diri seorang
tokoh. Konflik inilah nanti yang akan mendorong dialog dan menggerakkan action.
SASTRA
INDONESIA MODERN
1.
Periodisasi Sastra Angkatan Balai Pustaka
(1920—1933)
Balai Pustaka didirikan pada tahun
1908, tetapi baru tahun 1920-an kegiatannya dikenal banyak pembaca (Purwoko,
2004: 143). Berawal ketika pemerintah Belanda mendapat kekuasaan dari Raja
untuk mempergunakan uang sebesar F.25.000 setiap tahun guna keperluan sekolah
bumi putera yang ternyata justru meningkatkan pendidikan masyarakat. Commissie voor
de Inlandsche School-en Volkslectuur, yang dalam perkembangannya berganti nama
Balai Poestaka, didirikan dengan tujuan utama menyediakan bahan bacaan yang
“tepat” bagi penduduk pribumi yang menamatkan sekolah dengan sistem pendidikan
Barat. Sebagai pusat produksi karya sastra, Balai Poestaka mempunyai beberapa
strategi signifikan (Purwoko, 2014: 147), yaitu:
1. merekrut dewan redaksi secara selektif
2. membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis
3. menentukan kriteria literer
4. mendominasi dunia kritik sastra
1. merekrut dewan redaksi secara selektif
2. membentuk jaringan distribusi buku secara sistematis
3. menentukan kriteria literer
4. mendominasi dunia kritik sastra
Pada masa ini bahasa Melayu Riau
dipandang sebagai bahasa Melayu standar yang yang lebih baik dari dialek-dialek
Melayu lain seperti Betawi, Jawa, atau Sumatera. Oleh karena itu, para lulusan
sekolah asal Minangkabau, yang diperkirakan lebih mampu mempelajari bahasa
Melayu Riau, dipilih sebagai dewan redaksi. Beberapa diantaranya adalah Armjin
Pene dan Alisjahbana. Angkatan Balai Poestaka baru mengeluarkan novel
pertamanya yang berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun
1920-an. Novel yang mengangkat fenomena kawin paksa pada masa itu menjadi tren
baru bagi dunia sastra. Novel-novel lain dengan tema serupa pun mulai
bermunculan. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa Balai Poestaka, yaitu:
- Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
- Alur : Alur Lurus.
- Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
- Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
- Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu kelancaran teks.
- Corak : Romantis sentimental.
- Sifat : Didaktis (pendidikan)
- Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
- Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
- Puisinya berbentuk syair dan pantun.
- Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
- Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
- Gaya Bahasa : Ungkapan klise pepatah/pribahasa.
- Alur : Alur Lurus.
- Tokoh : Plot karakter ( digambarkan langsung oleh narator ).
- Pusat Pengisahan : Terletak pada orang ketiga dan orang pertama.
- Terdapat digresi : Penyelipan/sisipan yang tidak terlalu penting, yang dapat menganggu kelancaran teks.
- Corak : Romantis sentimental.
- Sifat : Didaktis (pendidikan)
- Latar belakang sosial : Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua.
- Peristiwa yang diceritakan saesuai dengan realitas kehidupan masyarakat.
- Puisinya berbentuk syair dan pantun.
- Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dll.
- Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan.
2. Angkatan Pujangga Baru (1933—1942)
a) Latar belakang
terbitnya Pujangga Baru
Buku Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai (antologia) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam Angkatan Pujangga Baru Seperti diketahui, oleh para ahli dan parapenyusun buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia dibagi-bagimenjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya ditempatkan sebagaiangkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan mendahului kelahiran angkatan‘45. Tetapi kita lihat pembagian sejarah sastra Indonesia dalam angkatan-angkatan ini, tidaklah disertai dengan alasan-alasan yang bisa kita terima. Tidak sedikit pula para sastrawan yang menolak atau tidak mau dimasukan dalam sesuatu angkatan, mereka memilih masuk angkatan yang disukainya. Misalnya Achdiat K. Mihardja pernah menyatakan bahwa ia lebih suka digolongkan kepada angkatan Pujangga Baru, padahal para ahli telah menggolongkannya kepada angkatan ‘45. Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis. Ketika sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut ke arah kemajuan. Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers).
Hal ini tak mengherankan sebab pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos.
Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane lebih banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang pengarang mistikus ke-Timuran.
Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan modern.
Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya.
Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu dalam cita-cita dan semangat mereka, yaitu semangat membangun kebudayaan Indonesia yang baru dan maju. Itulah sebabnya mereka dapat bekerjasama, misalnya saja dalam memelihara dan memajukan penerbitan majalah Pujangga Baru.
Buku Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai (antologia) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam Angkatan Pujangga Baru Seperti diketahui, oleh para ahli dan parapenyusun buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia dibagi-bagimenjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya ditempatkan sebagaiangkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan mendahului kelahiran angkatan‘45. Tetapi kita lihat pembagian sejarah sastra Indonesia dalam angkatan-angkatan ini, tidaklah disertai dengan alasan-alasan yang bisa kita terima. Tidak sedikit pula para sastrawan yang menolak atau tidak mau dimasukan dalam sesuatu angkatan, mereka memilih masuk angkatan yang disukainya. Misalnya Achdiat K. Mihardja pernah menyatakan bahwa ia lebih suka digolongkan kepada angkatan Pujangga Baru, padahal para ahli telah menggolongkannya kepada angkatan ‘45. Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis. Ketika sastra Indonesia dikuasai oleh angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam manivestasi pujangga baru dinyatakan bahwa fungsi kesusastraan itu, selain melukiskan atau menggambarkan tinggi rendahnya suatu bangsa, juga mendorong bangsa tersebut ke arah kemajuan. Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers).
Hal ini tak mengherankan sebab pada jaman itu banyak para pemuda Indonesia yang berpendidikan barat, bukan saja mengenal, bahkan mendalami bahasa serta kesusastraan Belanda. Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos.
Lain halnya dengan Hamka. Ia pengarang prosa religius yang bernafaskan Islam, lebih dipengaruhi oleh pujangga Mesir yang kenamaan, yaitu Al-Manfaluthi, sedangkan Sanusi Pane lebih banyak dipengaruhi oleh India daripada oleh Barat, sehingga ia dikenal sebagai seorang pengarang mistikus ke-Timuran.
Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan modern.
Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya.
Mereka berlomba-lomba, namun tetap satu dalam cita-cita dan semangat mereka, yaitu semangat membangun kebudayaan Indonesia yang baru dan maju. Itulah sebabnya mereka dapat bekerjasama, misalnya saja dalam memelihara dan memajukan penerbitan majalah Pujangga Baru.
b) Karakteristik Karya Angkatan Pujangga Baru
- Dinamis
- Bercorak romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja kalau romantik angkatan Siti Nurbaya bersifat fasip, sedangkan angkatan Pujangga Baru aktif romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku lagi.
- Angkatan Pujangga Baru menggunakan bahasa Melayu modern dan sudah meninggalkan bahasa klise. Mereka berusaha membuat ungkapan dan gaya bahasa sendiri. Pilihan kata, Penggabungan ungkapan serta irama sangat dipentingkan oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari.
Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri:
- Bentuk puisi yang memegang peranan penting adalah soneta, disamping itu ikatan-ikatan lain seperti quatrain dan quint pun banyak dipergunakan. Sajak jumlah suku kata dan syarat-syarat puisi lainnya sudah tidak mengikat lagi, kadang-kadang para Pujangga Baru mengubah sajak atau puisi yang pendek-pendek, cukup beberapa bait saja. Sajak-sajak yang agak panjang hanya ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan ”Hang Tuah” karya Amir Hamjah.
- Tema dalam karya prosa (roman) bukan lagi pertentangan faham kaum muda dengan adat lama seperti angkatan Siti Nurbaya, melainkan perjuangan kemerdekaan dan pergerakan kebangsaan, misalnya pada roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana
- Bentuk karya drama pun banyak dihasilkan pada masa Pujangga Baru dengan tema kesadaran nasional. Bahannya ada yang diambil dari sejarah dan ada pula yang semata-mata pantasi pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.
3. Periodisasi Sastra Angkatan 45
a) Sejarah
Lahirnya Angkatan 45
Jika diruntut berdasarkan periodesasinya, sastra Indonesia Angkatan ‘45 bisa dikatakan sebagai angkatan ketiga dalam lingkup sastra baru Indonesia, setelah angkatan Balai Pustaka dan angkatan Pujangga Baru. Munculnya karya-karya sastra Angkatan ‘45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar ini memberi warna baru pada khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa sastra Indonesia baru lahir dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu.
Pada mulanya angkatan ini disebut dengan berbagai nama, ada yang menyebut Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan, dan lain-lain. Baru pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan ‘45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi. Meskipun namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum dirumuskan.
Jika diruntut berdasarkan periodesasinya, sastra Indonesia Angkatan ‘45 bisa dikatakan sebagai angkatan ketiga dalam lingkup sastra baru Indonesia, setelah angkatan Balai Pustaka dan angkatan Pujangga Baru. Munculnya karya-karya sastra Angkatan ‘45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar ini memberi warna baru pada khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa sastra Indonesia baru lahir dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu.
Pada mulanya angkatan ini disebut dengan berbagai nama, ada yang menyebut Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan, dan lain-lain. Baru pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan ‘45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi. Meskipun namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum dirumuskan.
Baru
pada tahun 1950 “Surat Kepercayaan
Gelanggang” dibuat dan diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah
meninggal. Surat kepecayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang
menjadi dasar pegangan perkumpulan “Selayang Seniman Merdeka”. Masa
Chairil Anwar masih hidup. Angkatan ‘45 lebih realistik dibandingkan
dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik idealistik.
Semangat patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan ‘45 tercermin dari sebagian besar karya-karya yang dihasilkan oleh parasastrawan tersebut. Beberapa karya Angkatan ‘45 ini mencerminkan perjuangan menuntut kemerdekaan. Banyak pula di antaranya yang selalu mendapatkan kecaman, di antaranya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya dengan keprofesionalannya masih eksis menghasilkan karya-karya terutama mengenai perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat ini karya-karya Pramoedya masih digandrungi khususnya oleh penikmat sastra.
Sebegitu
banyak orang yang memproklamasikan kelahiran
dan membela hak hidup Angkatan ‘45,
sebanyak itu pulalah yang menentangnya.
Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ‘45 ini hanyalah lanjutan belaka
dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan sebelumnya, yaitu
Angkatan Pujangga Baru. Sutan Takdir
Alisyahbana pun berpendapat demikian.
b) Beberapa Pendapat Tentang Angkatan ‘45
- Armijn Pane: Pujangga Baru menentang adanya Angkatan ‘45 dan menganggap bahwa tak ada yang disebut Angkatan ‘45.
- Sutan Takdir Alisyahbana: Angkatan ‘45 merupakan sambungan dari Pujangga Baru.
- Teeuw: Memang berbeda Angkatan ‘45 dengan Angkatan Pujangga Baru, tetapi ada garis penghubung, misalnya Armijn Pane dengan Belenggu-nya. (puncak-puncak kesusastraan Indonesia).
- Sitor Situmorang: Pujangga Baru masih terikat oleh zamannya, yaitu zaman penjajahan, sedangkan Angkatan ‘45 dalam soal kebudayaan tidak membedakan antara Barat dan Timur, tetapi yang penting hakikat manusia. Perjuangan Pujangga Baru baru mencapai kepastian dan ilmu pengetahuan.
- Pramoedya Ananta Toer: Angkatan Pujangga Baru banyak ilmu pengetahuannya tetapi tidak banyak mempunyai penghidupan (pengalaman). Angkatan ‘45 kurang dalam ilmu pengetahuan (karena perang) tetapi sadar akan kehidupan.
c) Karakteristik Karya Angkatan 45
- Bercorak lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga Baru yang romantik-idealistik.
- Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya mewarnai karya sastrawan Angkatan ’45.
- Bahasanya lugas, hidup dan berjiwa serta bernilai sastra.
- Sastrawannya lebih berjiwa patriotik.
- Bergaya ekspresi dan revolusioner (H.B.Yassin).
- Bertujuan universal nasionalis.
- Bersifat praktis.
- Sikap sastrawannya “tidak berteriak tetapi melaksanakan” .
4. Periodisasi Sastra Angkatan 1950
a) Sejarah Lahirnya Periode ‘50
Slamet Muljono pernah menyebut bahwa sastrawan Angkatan 50 hanyalah pelanjut (successor) saja, dari angkatan sebelumnya (’45). Tinjauan yang mendalam dan menyeluruh membuktikan bahwa masa ini pun memperlihatkan ciri-cirinya, yaitu:
a. Berisi kebebasan sastrawan yang lebih luas di atas kebiasaan (tradisi) yang diletakan pada tahun 1945.
b. Masa ‘50 memberikan pernyataan tentang aspirasi (tujuan
yang terakhir dicapai nasional lebih lanjut). Periode ‘50
tidak hanya pengekor (epigon) dari angkatan
‘45, melainkan merupakan survival, setelah melalui masa-masa
kegonjangan. Adapun ciri-cirinya yang lebih rinci adalah sebagai
berikut:
- Pusat kegiatan sastra makin banyak jumlahnya dan makin meluas daerahnya hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta dan Yogyakarta.
- Terdapat pengungkapan yang lebih mendalam terhadap kebudayaan daerah dalam menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.
- Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi lebih kepada peleburan (kristalisasi) antara ilmu dan pengetahuan asing dengan perasaan dan ukuran nasional.
- Pusat kegiatan sastra makin banyak jumlahnya dan makin meluas daerahnya hampir di seluruh Indonesia, tidak hanya berpusat di Jakarta dan Yogyakarta.
- Terdapat pengungkapan yang lebih mendalam terhadap kebudayaan daerah dalam menuju perwujudan sastra nasional Indonesia.
- Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan kepada kekuasaan asing, tetapi lebih kepada peleburan (kristalisasi) antara ilmu dan pengetahuan asing dengan perasaan dan ukuran nasional.
b) Ciri-ciri Periode 50-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jasin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya. Kemudian angkatan ini dikenal dengan karyanya berupa sastra majalah.
Pada
angkatan ini muncul gerakan komunis
dikalangan sastrawan yang bergabung dalam Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berkonsep
sastra realisme sosialis. Timbullah perpecahan
antara sastrawan sehingga menyebabkan mandegnya
perkembangan sastra, karena masuk ke dalam
politik praktis, sampai berakhir pada tahun
1965 dengan pecahnya G30 S/PKI di Indonesia.
Adapun ciri-ciri dari periode ini antara lain:
a. Umumnya karya sastrawan sekitar tahun 1950-1960-an;
b. Sampai tahun 1950-1955, sastrawan angkatan ‘45 juga masih menerbitkan karyanya;
c. Corak karya cukup beragam, karena pengaruh faktor politik/idiologi partai;
d. Terjadi peristiwa G 30 S/PKI sehingga sastrawan Lekra disingkirkan.
Adapun ciri-ciri dari periode ini antara lain:
a. Umumnya karya sastrawan sekitar tahun 1950-1960-an;
b. Sampai tahun 1950-1955, sastrawan angkatan ‘45 juga masih menerbitkan karyanya;
c. Corak karya cukup beragam, karena pengaruh faktor politik/idiologi partai;
d. Terjadi peristiwa G 30 S/PKI sehingga sastrawan Lekra disingkirkan.
c) Masalah yang Dihadapi Periode 50
Angkatan ’50 mengalami kendala dalam menerbitkan karya-karyanya, dikarenakan Balai Pustaka sebagai penerbit utama buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Penerbit ini bernaung dibawah P dan K dan pergantian status yang dilakukan hanya dalam waktu yang singkat dan tidak menentu, di tambah penempatan pemimpin yang bukan ahli, sehingga tidak dapat mengelola anggaran yang tersedia yang berakibat macetnya produksi karya. Setelah Balai Pustaka yang mengalami kesulitan penerbitan, penerbit yang lainnya pun mengalami nasib serupa, seperti penerbit seperti Pembangunan dan Tintamas. Oleh sebab itu, karya-karya sastra hanya banyak bermunculan di majalah-majalah seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, dan Pudjangga Baru. Oleh sebab itu pula karya yang banyak ditampilkan terutama sajak, cerpen, dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek, sesuai dengan kebutuhan majalah-majalah tersebut, maka tak anehlah kalau para pengarang pun lantas hanya mengarang cerpen, sajak dan karangan-karangan lain yang pendek-pendek. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah sastra majalah. Istilah ini dilansir dan diperkenelkan oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya Situasi 1954 yang dimuat di majalah Kompas yang dipimpinnya.
5. Periodisasi SastraAngkatan 1966
Adalah suatu kenyataan sejarah bahwa sejak awal pertumbuhannya sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik (Rosidi, 1965: 177). Pada masa ini sastra sangat dipengaruhi oleh lembaga kebudayaan seperti Lekra dan Manikebu. Pada tahun 1961 Lekra,organ PKI yang memperjuangkan komunisme, dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang memperjuangkan slogan “politik adalah panglima”. Sementara Menifes Kebudayaan merupakan sebuah konsep atau pemikiran di bidang kebudayaan dan merupakan sebuah reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu dilancarkan oleh orang-orang Lekra. Manifes kebudayaan di tuduh anti-Manipol dan kontra Revolusioner sehingga harus dihapuskan dari muka bumi Indonesia.
Pelarangan Manifes Kebudayaan diikuti tindakan politis yang makin memojokkan orang-orang Manifes Kebudayaan, yaitu pelarangan buku karya pengarang-pengarang yang berada di barisan. Adapun buku-buku yang pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan Revolusi, Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja , Korupsi dll; Utuy T. Sontani, Suling, Bunga Rumah makan,Orang-orang Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra, Jejak Langkah , Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern.
Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut:
- mempunyai konsepsi Pancasila
- menggemakan protes sosial dan politik
- membawa kesadaran nurani manusia
- mempunyai kesadaran akan moral dan agama
6.
Periodisasi Sastra Angkatan 70-an
Pada masa ini karya sastra
berperan untuk membentuk pemikiran tentang keindonesiaan setelah mengalami
kombinasi dengan pemikiran lain, seperti budaya. Ide, filsafat, dan
gebrakan-gebrakan baru muncul di era ini, beberapa karya keluar dari paten
dengan memperbincangkan agama dan mulai bermunculan kubu-kubu sastra populer
dan sastra majalah. Pada masa ini pula karya yang bersifat absurd mulai tampak.
Di tahun 1980—1990-an banyak
penulis Indonesia yang berbakat, tetapi sayang karena mereka dilihat dari
kacamata ideologi suatu penerbit. Salah satu penerbit yang terkenal sampai
sekarang adalah Gramedia. Gramedia merupakan penerbit yang memperhatikan sastra
dan membuka ruang untuk semua jenis sastra sehingga penulis Indonesia
senantiasa memiliki kreativitas dengan belajar dari berbagai paten karya, baik
itu karya populer, kedaerahan, maupun karya urban. Sementara setelah masa
reformasi, yaitu tahun 2000-an, kondisi sastra tanah air dapat digambarkan
sebagai berikut:
- Kritik Rezim Orde Baru
- Wacana Urban dan Adsurditas
- Kritik Pemerintah terus berjalan
- Sastra masuk melalui majalah selain majalah sastra.
- Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman sekarang
- Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak karya Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.
- Kritik Rezim Orde Baru
- Wacana Urban dan Adsurditas
- Kritik Pemerintah terus berjalan
- Sastra masuk melalui majalah selain majalah sastra.
- Sastra bersanding dengan Seni Lainnya, banyak terjadi alih wahana pada jaman sekarang
- Karya yang dilarang terbit pada masa 70-an diterbitkan di tahun 2000-an, banyak karya Pram yang diterbitkan, karya Hersri Setiawan, Remy Sylado, dsb.
Seperti seorang anak, Sastra
mengalami masa pertumbuhan. Masa pertumbuhan sastra tidak akan dewasa hingga
jaman mengurungnya. Sastra akan terus menilai jaman melalui pemikiran dan karya
sastrawannya. Pada tahun 1970-an, sastra memiliki karakter yang keluar dari
paten normatif. Pada tahun 1980-an hingga awal 1990-an, sastra memiliki
karakter yang diimbangi dengan arus budaya populer. Pada tahun 2000-an hingga
saat ini, sastra kembali memiliki keragaman kahzanah dari yang populer, kritik,
reflektif, dan masuk ke ranah erotika dan absurditas.
7. Periodisasi Sastra Angkatan 2000-an sampai sekarang
Setelah wacana tentang lahirnya
sastrawan Angkatan Reformasih muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karna
tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana
tentang lahirnya “Angkatan 2000”. Sebuah buku tebal tentang angkatan 2000 yang
disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih
penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke
dalam angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an,
seperti Afrizal Malna, Ahmad Yosi Herfanda, dan Seno Gumira Ajidarma, serta
yang muncul pada 1990-an seperti Ayu Utami, dan Dhorotea Rosa Herliany.
Penulis dan Karya
Sastra Angkatan 2000
a. Ayu Utami
- Saman (1998)
- Larung (2001)
- Bilangan Fu (2008)
- Manjali dan Cakrabirawa (2010)
- Lalita
b. Seno Gumira Ajidarma
- Atas Nama Malam
- Sepotong Senja Untuk Pacarku
- Biola Tak Berdawai
c. Dewi Lestari
- Supernova 1: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh (2001)
- Supernova 2: Akar (2002)
- Filosofi Kopi (2003)
- Supernova 3: Petir (2004)
- Supernova 3: Petir (2004)
- Perahu Kertas (2009)
- Supernova 4: Partikel (2012)
- Supernova 5: Gelombang (2014)
- Supernova 6: Intelegensi Embun Pagi (2016)
d. Raudal Tanjung Banua
- Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
- Ziarah Bagi Yang Hidup (2004)
- Perang Tak Berulu (2005)
- Gugusan Mata Ibu (2005)
e. Habiburrahman El Shirazy
- Ayat-ayat Cinta (2004)
- Di Atas Sajadah Cinta (2004)
- Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
- Pudarnya Pesona Cleopatra(2005)
- Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
- Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
- Dalam Mihrab Cinta (2007)
f. Andrea Hirata
- Laskar Pelangi (2005)
- Sang Pemimpi (2006)
- Edensor (2007)
- Maryamah Karpov (2008)
- Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)
g. Ahmad Faudi
- Negeri Lima Menara (2009)
- Ranah Tiga Warna (2011)
h. Tosa
- Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
- Melan Conis (2009)
SUMBER :
Komentar
Posting Komentar