contoh kasus manusia dan penderitaan

Angka Anak Putus Sekolah Masih Tinggi
REPUBLIKA.CO.ID, KLATEN -- Kendati sudah dicanangkan wajib belajar (Wajar) 9 atau 12 tahun, angka siswa putuh sekolah di Kabupaten Klaten, Jateng, masih tinggi.
Berdasar data survei 2014 yang ada di sini menyebutkan, jumlah pelajar yang tidak bisa melanjutkan sekolah pada kisaran angka 1.500-an anak.
Menurut Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Klaten, Pantoro, banyak hal yang melatar-belakangi anak mengalami putus sekolah.
''Faktor dominan disebabkan oleh kondisi internal keluarga,'' katanya, Selasa (29/3).
Latar belakang siswa mengalami putus sekolah, kata Pantoro, bisa disebabkan olah faktor kemiskinan. Kalau orangtuanya miskin, memaksa anak tidak bisa melanjutkan sekolah.
Mereka tidak berdaya membiayai anak masuk sekolah. Dalam kondisi ekonomi miskin, jangankan memikirkan anak sekolah, untuk bisa makan saja setengah mati.
Juga karena faktor keluarga yang mengalami broken home. Ini bisa disebabkan perceraian orangtua. Sehingga kondisi keluarga terbelah.
Apalagi, akibat perceraian tanggung-jawab anak dibebankan ke pihak ibu. Sementara, ibu tidak memiliki kekuatan sumber ekonomi. Dalam kondisi ini, anak jelas mengalami putus sekolah. Atau dipaksa oleh kondisi harus bekerja bekerja, membantu orangtua.
Seperti diketahui, jumlah anak putus sekolah di Kabupaten Klaten 2014  saja mencapai 1.515 anak. Jumlah ini berdasar angka yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah anak putus sekolah mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Setahun sebelumnya, siswa putus sekolah mencapai 2.445 anak.
Memang, data siswa putus sekolah yang dimiliki BPS dengan Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Klaten berbeda. Data BPS menyebutkan jumlah anak putus sekolah tingkat SMP dan sederajat 2014 mencapai 891 orang. Sedang ada jumlah siswa tingkat SMA sederajat yang mengalami putus sekolah mencapai 622 orang.
Dibandingkan data BPS 2013, jumlah tersebut jauh menurun. Angka putus sekolah di tingkat SMP sederajat 2013 mencapai 297 anak. Anak putus sekolah tingkat SMA sederajat mencapai 2.148 anak.
Data BPS tersebut sangat berbeda data anak putus sekolah yang bersumber dari Disdik Kabupaten Klaten. Jumlah anak sekolah 2014 mencapai 318 anak. Setahun sebelumnya, jumlah anak putus sekolah mencapai angka 469 anak.
Kepala Seksi (Kasi) Statistik Sosial BPS Klaten, Harto Adi, mengakui angka siswa putus sekolah yang dimiliki beda dengan data Disdik. Data yang dimiliki BPS, merupakan data global. BPS tidak merinci anak putus sekolah hingga ke tingkat kecamatan, atau penyebab terjadinya putus sekolah itu sendiri.
BPS sudah melakukan sosialisasi ke publik ihwal data anak putus sekolah. BPS tidak memiliki kewajiban memberikan data tersebut ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klatan atau Disdik Klaten. BPS sudah mempublikasi data itu. Kalau beda dengan data di Disdik Klaten, tak masalah.
''Data yang kami miliki berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional. Kalau dari Pemkab Klaten ingin menggunakan data kami, silakan saja,''katanya.
Disdik sudah melakukan berbagai upaya yang dilakukan untuk menangani anak putus sekolah. Paling tidak, sudah melakukan sosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat, agar anak usia sekolah jangan sampai tidak sekolah.
Disdik juga sudah menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS), beasiswa, dan sekolah kejar paket untuk mengurangi jumlah anak putus sekolah di sini.

Opini :
Dari contoh kasus diatas, sudah cukup mengambarkan hubungan antara manusia dengan penderitaan. Saat ini banyak anak yang tidak dapat bersekolah karena ekonomi keluarga yang kurang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Banyak sekali Faktor yang menjadi penyebab anak mengalami putus sekolah, diantaranya yang berasal dari dalam diri anak yang putus sekolah disebabkan karena malas untuk pergi sekolah karena merasa minder, tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya, sering dicemoohkan karena tidak mampu membayar kewajiban biaya sekolah. Ketidak mampuan ekonomi keluarga dalam menopang biaya pendidikan juga berdampak terhadap masalah psikologi anak sehingga anak tidak bisa bersosialisasi dengan baik dalam pergaulan dengan teman sekolahnya selain itu karena pengaruh dari perteman anak sehingga ikut-ikutan diajak bermain sampai lupa pada kewajiban sanga anak untuk belajar yang pada akhirnya menyebabkan anak sering membolos dan juga tidak dapat naik kelas serta menurunnya prestasi disekolah dan malu pergi kembali ke sekolah.
Keadaan status ekonomi keluarga.Dalam keluarga miskin cenderung timbul berbagai masalah yang berkaitan dengan biaya hidup, sehingga anak sering dilibatkan untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dapat menyebabkan anak menjadi kurang berkonsentrasi dalam pelajaran. Selain itu, kurangnya perhatian orang tua juga dapat menimbulkan berbagai masalah pada anak. Semakin besar anak maka perhatian dari orang tua semakin diperlukan. Kenakalan anak adalah salah satu penyebab dari kurangnya perhatian orang tua. Hubungan keluarga yang tidak harmonis seperti perceraian orang tua, hubungan antar keluarga tidak saling peduli juga dapat menyebabkan  anak mengalami permasalahan yang serius dalam pendidikannya sehingga mengakibatkan anak mengalami putus sekolah.
Pendidikan dasar wajib yang dipilih Indonesia adalah 12 tahun yaitu pendidikan SD dan SMP, dan SMA. Pendidikan merupakan hak yang yang sangat fundamental bagi anak.Hak yang wajib yang dipenuhi dengan kerjasama dari orang tua, masyarakat dan pemerintah. Namun tidaklah mudah untuk merealisasikan pendidikan khususnya menuntaskan wajib belajar 12 tahun, karena pada kenyataannya masih banyak angka putus sekolah. Pendanaan pendidikan yang menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat, sampai saat ini kenyataannya ditanggung oleh orang tua siswa akibatnya sekolah memungut berbagai iuran dan sumbangan kepada orang tua siswa, sehingga pendidikan menjadi mahal dan hanya menyentuh kelompok masyarakat menengah ke atas.Anak–anak dari kelompok keluarga tidak mampu tidak sanggup membiayai sekolah anaknya, Oleh karena itu langkah pemerintah dengan membebankan pembiayaan pendidikan kepada orang tua siswa tidaklah tepat mereka yang tidak mampu lebih memilih untuk tidak meneruskan sekolah anaknya dan lebih diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari –hari.

Sumber:

Komentar