contoh kasus

Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai negara hukum, tentunya penegakan hukum yang tidak memihak telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dimana semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Untuk menerapkan Negara hukum, Indonesia dituntut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip yang dijalankan oleh negara hukum. Setiap manusia berhak memperoleh keadilan, baik itu dari masyarakat maupun dari negara. Seperti yang tercantum dalam pancasila, sila ke-5 yang berbunyi : “keadlian bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini sangat jelas bahwa seluruh rakyat indonesia berhak mendapat keadilan tanpa terkecuali. Tidak pandang bulu, entah itu pejabat, rakyat kecil, orang kaya atau miskin. Tujuan hukum adalah memberikan keadilan kepada setiap orang. 

Namun dalam prakteknya hal ini sudah tidak terjadi lagi di Indonesia. Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Saat ini hukum di Indonesia yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan Negara dilanggar. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindakan kecil langsung ditangkap dan dijebloskan kepenjara. Sedangkan seorang pejabat Negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik Negara dapat berkeliaran dengan bebasnya. Karena hukuman itu cenderung hanya berlaku bagi orang miskin dan tidak berlaku bagi orang kaya, sehingga tidak sedikit orang yang menilai bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang. Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. Hukum seakan-akan bukan lagi dasar bagi bangsa Indonesia. Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli, maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil. Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Kita seharusnya merasa malu dengan moral bangsa ini yang begitu naif. Indonesia bahkan belum dapat di bilang sepenuhnya merdeka karena bangsa ini masih terbelenggu oleh ketidakadilan pemerintahannya sendiri. Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini.

Berikut adalah beberapa contoh kasus bukti hukum hanya berlaku berat bagi kalangan kelas bawah.

 

1. Nenek mencuri buah senilai kurang dari Rp 10.000,- diganjar penjara 1,5 bulan.
Kasus Nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan kurungan pada Agustus 2009 kemarin adalah salah satu contoh ketidakadilan hukum di Indonesia. Kasus ini berawal dari pencurian 3 buah kakao oleh Nenek Minah. Saya setuju apapun yang namanya tindakan mencuri adalah kesalahan. Namun demikian jangan lupa hukum juga mempunyai prinsip kemanusiaan. Masak nenek-nenek kayak begitu yang buta huruf dihukum hanya karena ketidaktahuan dan keawaman Nenek Minah tentang hukum.
Menitikkan air mata ketika saya menyaksikan Nenek Minah duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya yang sudah keriput dan tatapan kosongnya. Untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek Minah harus meminjam uang Rp.30.000,- untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh. Seorang Nenek Minah saja bisa menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya transportasi. Seorang pejabat yang terkena kasus hukum mungkin banyak yang mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat. 

2. Pasutri mencuri pisang karena kelaparan, dituntut 7 tahun penjara.
Pasutri Supriyono, 19, dan Sulastri, 19, terdakwa pencurian setandan pisang divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro Jawa Timur 3,5 bulan pada Februari 2010.
Peristiwa diatas terjadi saat suami istri tersebut, karena merasa tidak punya makanan di rumah yang bisa dimakan, mereka berboncengan motor mau mencari hutangan uang untuk membeli makanan, saat melewati pekarangan tetangganya tergiur untuk mengambil setandan pisang dan sialnya ketahuan oleh tetangganya tersebut, yang kemudian melaporkannya ke kepolisian.
Kasus ini menjadi kontroversi di daerah Bojonegoro, karena hanya pencurian barang seharga tidak lebih dari Rp 5000,- si terdakwa diproses ke meja hijau. Padahal banyak sekali kasus-kasus besar yang melibatkan uang milyaran rupiah dan kebetulan pelakunya adalah para pejabat tidak ditindaklanjuti dengan serius oleh aparat penegak hukum. Atau kalau ditindak lanjuti, itu hanya kosmetik saja, misalnya kasus yang melibatkan mantan ketua DPRD Bojonegoro, walau ditindak lanjuti tapi para tersangka tidak dikenai penahanan.
Dalam kasus ini, sebenarnya bisakah kepolisian ataupun kejaksaaan melepas si terdakwa, karena alasan kemanusiaan dan kecilnya barang yang dicuri? Karena kalau melihat dari aspek keadilan sungguh ironis sekali hanya mencuri setandan pisang, hukumannya 3,5 bulan.

3. Seorang kakek mencuri dua sabun, diganjar dinginnya tahanan 14 hari.
Demi menebus kesalahannya, mencuri dua sabun dan setengah kilogram kacang hijau di minimarket pada November 2009, Sardjo bin Raswad harus merasakan dinginnya sel tahanan selama 14 hari. Dengan tubuh rentanya, ia harus menjalani sidang bolak-balik dari Tegal ke Cirebon untuk menebus kesalahannya.
Di depan hakim dan jaksa di pengadilan, Sardjo terus terang mengaku bersalah. ”Saya khilaf, Pak, pengin beli tetapi tak punya uang,” aku Sardjo sambil menunduk.
Ia mengaku mengambil dua batang sabun dan setengah kilogram kacang hijau yang hanya senilai Rp 13.450,- pada November 2009 lalu tanpa membayar di kasir sebuah minimarket di Desa Losari, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon.

4. Pencuri sandal jepit 5 tahun penjara, koruptor 1,5 tahun.
AAL berusia 15 tahun, disidang karena telah mencuri sendal jepit. Tidak ada niat membenarkan tindakannya. Akan tetapi karena yang dicuri adalah sendal jepit milik Brigadir (Pol) Satu, Ahmad Rusdi Harahap, AAL harus menghadapi jerat pasal 362 KUHP dengan ancaman maksimal tuntutan 5 tahun penjara.
Disaksikan kedua orang tuanya, AAL di persidangan bukan saja hanya membantah telah mencuri, tapi juga mengaku mendapatkan tekanan dan penganiayaan saat pemeriksaan oleh seorang anggota polisi agar mengaku sebagai pelaku pencurian Kasus pencurian sandal jepit warna putih kusam merek “Ando” seharga Rp 30 ribu itu terjadi November 2010.
Kasus pencurian sandal jepit yang dilakukan bocah 15 tahun ini rasanya tak sebanding dengan ancaman hukuman lima tahun penjara sementara banyak koruptor yang dihukum hanya 1,5 tahun bahkan banyak pula yang masih berkeliaran malah tampil jadi pemimpin di negeri tercinta ini dan tidak malu-malu pula memberi nasehat kepada negeri ini.

5. Nenek pencuri 38 kayu jati diancam hukuman 5 tahun.
Ada banyak kasus besar yang jelas-jelas merugikan negara karena ulah penggarong uang negara, nasib kasusnya tidak jelas. Para koruptor bebas berlenggang, berleha-leha di luar negeri, tidak tersentuh hukum.
Kisah yang dialami nenek Asyani (63) ini benar-benar menggambarkan pepatah yang populer di masyarakat, hukum di negeri ini tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Asyani diseret ke Pengadilan Negeri Situbondo Jawa Timur dengan tuduhan mencuri 38 papan kayu jati di lahan Perhutani di Desa Jatibanteng, Situbondo.
Asyani dilaporkan oleh sejumlah polisi hutan ke Polsek Jatibanteng pada 4 Juli 2014. Nenek empat anak itu kemudian ditahan pada 15 Desember 2014. Selain Asyani, tiga orang lain juga ikut ditahan, yakni menantu Asyani, Ruslan; pemilik mobil pick up, Abdussalam; dan Sucipto, tukang kayu.
Dalam tanggapannya, jaksa Ida Haryani menuturkan pihaknya memiliki bukti-bukti kuat bahwa 38 papan kayu itu memang diambil Asyani di lahan Perhutani. "Terdakwa tidak mampu menunjukkan dokumen kepemilikan kayu tersebut," katanya.
Supriyono menyesalkan sikap jaksa itu, yang dinilainya terlalu formalistis dalam menangani kasus tersebut. Padahal faktanya, kayu jati itu ditebang dari lahan milik Asyani yang telah dijual pada 2010. "Ada surat keterangan kepala desa kalau lahan tersebut dulunya milik Asyani," ucap Supriyono.
Sebelumnya, Asyani juga telah menyatakan itu secara langsung di hadapan majelis hakim ketika memohon ampun. Menurut dia, kayu jati itu peninggalan suaminya yang telah meninggal.

Inilah dinamika hukum di Indonesia, yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak, dan yang mempunyai kekuatan. Mereka pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan negara dilanggar. Orang biasa seperti Nenek Minah dan teman-temannya itu, yang hanya melakukan tindakan pencurian kecil atau kejahatan perdata ringan langsung ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang negara milyaran rupiah dapat berkeliaran dengan bebasnya.
Oleh karena itu perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara komprehensif mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling bawah dengan melakukan pembaruan dalam sikap, cara berpikir, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum kita ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak melupakan aspek kemanusiaan.


Sumber :


Komentar